Model Pembelajaran Inovatif (1)
A. Model Examples Non Examples
Contoh dapat dari Kasus/Gambar yang
Relevan dengan Kompetensi Dasar
Langkah-langkah
:
1. Guru mempersiapkan
gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran
2. Guru menempelkan
gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP/In Focus
3. Guru memberi petunjuk
dan memberi kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/menganalisa gambar
4. Melalui diskusi
kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat
pada kertas
5. Tiap kelompok diberi
kesempatan membacakan hasil diskusinya
6. Mulai dari
komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang
ingin dicapai
7. Kesimpulan
B. Picture And Picture
Langkah-langkah
:
1.
Guru
menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2.
Menyajikan
materi sebagai pengantar
3.
Guru
menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi
4.
Guru
menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan gambar-gambar
menjadi urutan yang logis
5.
Guru
menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut
6.
Dari
alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menamkan konsep/materi sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai
7.
Kesimpulan/rangkuman
C. Numbered Heads
Together
Langkah-langkah
:
1.
Siswa
dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
2.
Guru
memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
3.
Kelompok
mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat
mengerjakannya/mengetahui jawabannya
4.
Guru
memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka
5.
Tanggapan
dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
6.
Kesimpulan
D. Cooperative Script
Metode belajar dimana siswa bekerja
berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan, bagian-bagian dari
materi yang dipelajari
Langkah-langkah
:
1.
Guru
membagi siswa untuk berpasangan
2.
Guru
membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan
3.
Guru
dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa
yang berperan sebagai pendengar
4.
Pembicara
membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok
dalam ringkasannya. Sementara pendengar : (a) Menyimak/mengoreksi/menunjukkan
ide-ide pokok yang kurang lengkap; (b) Membantu mengingat/menghafal ide-ide
pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya
5.
Bertukar
peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta
lakukan seperti diatas.
6.
Kesimpulan
Siswa bersama-sama dengan guru
7.
Penutup
E. Kepala Bernomor Struktur
Langkah-langkah
:
1.
Siswa
dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
2.
Penugasan
diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomorkan terhadap tugas yang
berangkai. Misalnya : siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua
mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya
3.
Jika
perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari
kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok
lain. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu
atau mencocokkan hasil kerja sama mereka
4.
Laporkan
hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain
5.
Kesimpulan
F. Student
Teams-Achievement Divisions (Stad)/Tim Siswa Kelompok Prestasi (Slavin, 1995)
Langkah-langkah
:
1.
Membentuk
kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi,
jenis kelamin, suku, dll)
2.
Guru
menyajikan pelajaran
3.
Guru
memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok.
Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam
kelompok itu mengerti.
4.
Guru
memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak
boleh saling membantu
5.
Memberi
evaluasi
6.
Kesimpulan
G. Jigsaw (Model Tim Ahli)/(Aronson, Blaney, Stephen,
Sikes, And Snapp, 1978)
Langkah-langkah
:
1.
Siswa
dikelompokkan ke dalam 4 anggota tim
2.
Tiap
orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
3.
Tiap
orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
4.
Anggota
dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu
dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
5.
Setelah
selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan
bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai
dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh
6.
Tiap
tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
7.
Guru
memberi evaluasi
8.
Penutup
H. Problem Based Introductuon (PBI)/(Pembelajaran Berdasarkan
Masalah)
Langkah-langkah
:
1.
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.
Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2.
Guru
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
3.
Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis,
pemecahan masalah.
4.
Guru
membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan
dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
5.
Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
I. Artikulasi
Langkah-langkah
:
1.
Menyampaikan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
2.
Guru
menyajikan materi sebagaimana biasa
3.
Untuk
mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan dua orang
4.
Suruhlan
seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan
pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti
peran. Begitu juga kelompok lainnya
5.
Suruh
siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman
pasangannya. Sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancaranya
6.
Guru
mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa
7.
Kesimpulan/penutup
Sangat baik digunakan untuk
pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban
Langkah-langkah
:
1.
Guru
menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2.
Guru
mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa/sebaiknya
permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban
3.
Membentuk
kelompok yang anggotanya 2-3 orang
4.
Tiap
kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi
5.
Tiap
kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan guru
mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru
6.
Dari
data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi bandingan
sesuai konsep yang disediakan guru
K. Make – A Match (Mencari Pasangan) (Lorna Curran,
1994)
Langkah-langkah
:
1.
Guru
menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok
untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu
jawaban
2.
Setiap
siswa mendapat satu buah kartu
3.
Tiap
siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
4.
Setiap
siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal
jawaban)
5.
Setiap
siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
6.
Setelah
satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari
sebelumnya
7.
Demikian
seterusnya
8.
Kesimpulan/penutup
L. Think Pair And Share (Frank Lyman, 1985)
Langkah-langkah
:
1.
Guru
menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
2.
Siswa
diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
3.
Siswa
diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan
hasil pemikiran masing-masing
4.
Guru
memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
5.
Berawal
dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan
menambah materi yang belum diuangkapkan para siswa
6.
Guru
memberi kesimpulan
7.
Penutup
M. Debat
Langkah-langkah
:
1.
Guru
membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yg lainnya kontra
2.
Guru
memberikan tugas untuk membaca materiyang akan didebatkan oleh kedua kelompok
diatas
3.
Setelah
selesai membaca materi. Guru menunjuk salah satu anggotanya kelompok pro untuk
berbicara saat itu ditanggapi atau dibalas oleh kelompok kontra demikian
seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
4.
Sementara
siswa menyampaikan gagasannya guru menulis guru menulis inti/ide-ide dari
setiap pembicaraan di papan tulis. Sampai sejumlah ide yang diharapkan guru
terpenuhi
5.
Guru
menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
6.
Dari
data-data di papan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/rangkuman
yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.
Sumber : Bahan Pelatihan LPMP Jawa
Barat
Cooperative Learning-Teknik Jigsaw
Oleh : Novi
Emildadiany*))
=========================
BAB
I PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa
suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru
sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya
interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan
kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn
aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum secara berkelanjutan
disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan
sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara
maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia
adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan riil di
lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan
kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga
pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan
pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi
oleh sang guru.
Proses pembelajaran yang
dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target
materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada
pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang
selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru
menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan
mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk
bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga
siswa menjadi pasif.
Upaya peningkatan prestasi
belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam
hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih
menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan
dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar
siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga
pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif
dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai
motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Pembelajaran kooperatif
terutama teknik Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia
karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai
gotong royong.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “Penerapan Model
Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran”.
===========================
BAB
II PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TEKNIK JIGSAW
A. Pembelajaran
Cooperative Learning
Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang
diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang
kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh
guru.
Model pembelajaran Cooperative
Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran
kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai
sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam
struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu
saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal,
keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Falsafah yang mendasari
pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan
adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk
sosial.
Cooperative Learning adalah
suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku
bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama
yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah
salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling
bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam
pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman
dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya
“Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak
sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan
David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap
Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran
gotong royong yaitu :
1. Saling
ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat
bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang
efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota
kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai
tujuan mereka.
2. Tanggung
jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian
dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa
akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang
efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok
bisa dilaksanakan.
3. Tatap
muka.
Dalam pembelajaran Cooperative
Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini
adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi
antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para
pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena
keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya
untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat
mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses
panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu
ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental
dan emosional para siswa.
5. Evaluasi
proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan
waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil
kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Urutan langkah-langkah perilaku
guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997)
adalah sebagaimana terlihat pada table berikut ini
Tabel
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
B. Tujuan
Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif
berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana
keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan
tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya
(Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif
dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting
yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif
meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau
tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini
unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model
ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan
dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik
pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama
menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan
individu
Tujuan lain model pembelajaran
kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda
berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang
dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik
dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu
sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga
pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja
sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh
siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
C. Model
Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw
Jigsaw pertama kali
dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di
Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di
Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw
dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik
ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun
berbicara.
Dalam teknik ini, guru
memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa
mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain
itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan
mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan
keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa
anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian
materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam
kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam
kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama
saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian
materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada
anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan
juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang
diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi
tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling
tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk
mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu
untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic
pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali
pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain
tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal
yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan
latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari
beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota
kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami
topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya
untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Hubungan antara kelompok asal
dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) :
Kelompok
Asal
Kelompok
Ahli
Gambar.
Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Langkah-langkah dalam penerapan
teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
§
Guru membagi suatu kelas
menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa
dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah
anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran
yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian
materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama
belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart
Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran
yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika
kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok
Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi
pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri
dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok
ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa.
Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi
yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi
diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
Gambar
Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw
§
Setelah siswa berdiskusi dalam
kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi
masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk
menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat
menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
§ Guru
memberikan kuis untuk siswa secara individual.
§
Guru memberikan penghargaan
pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan
hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
§ Materi
sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi
pembelajaran.
§
Perlu diperhatikan bahwa jika
menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu
tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran
di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah
dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran
terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya
pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
2. Jumlah
siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses
pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai
arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya
sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative
Learning.
4. Kurangnya
buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya
pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung
proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran
Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut :
1.
Guru senantiasa mempelajari
teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan
menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2.
Pembagian jumlah siswa yang
merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3.
Diadakan sosialisasi dari pihak
terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4.
Meningkatkan sarana pendukung
pembelajaran terutama buku sumber.
5.
Mensosialisasikan kepada siswa
akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses
pembelajaran.
=====================================
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran di sekolah yang
melibatkan siswa dengan guru akan melahirkan nilai yang akan terbawa dan
tercermin terus dalam kehidupan di masyarakat. Pembelajaran yang melibatkan
siswa secara aktif dalam kelompok secara bergotong royong (kooperatif) akan
menimbulkan suasana belajar partisipatif dan menjadi lebih hidup. Teknik
pembelajaran Cooperative Learning dapat mendorong timbulnya gagasan yang lebih
bermutu dan dapat meningkatkan kreativitas siswa.
Jigsaw merupakan bagian dari
teknik-teknik pembelajaran Cooperative Learning. Jika pelaksanaan prosedur
pembelajaran Cooperative Learning ini benar, akan memungkinkan untuk dapat
mengaktifkan siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Sampai saat ini pembelajaran
Cooperative Learning terutama teknik Jigsaw belum banyak diterapkan dalam
pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong
dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Saran
Sudah saatnya para pengajar
mengevaluasi cara mengajarnya dan menyadari dampaknya terhadap anak didik.
Untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya
dalam pembelajaran di sekolah, model pembelajaran Cooperative Learning perlu
lebih sering digunakan karena suasana positif yang timbul akan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan sekolah / guru. Selain
itu, siswa akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.
=========================
DAFTAR
PUSTAKA
Anita Lie. 2007. Cooperative
Learning. Jakarta : Grasindo.
Bambang Sudibyo. 2008. Materi
Road Show Dewan Pendidikan Bersama Tim Wajar Dikdas Kabupaten Kuningan.
Kuningan : Dewan Pendidikan Kabupaten Kuningan.
Daeng Sudirwo. 2002. Kurikulum
dan Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung : Andira.
Departemen Pendidikan Nasional.
2004. Pedoman Pembelajaran Ekonomi Secara Kontekstual Untuk Guru SMP. Jawa
Barat : Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional.
2004. Pedoman Pembelajaran Geografi Secara Kontekstual Untuk Guru SMP. Jawa
Barat : Depdiknas.
Dinas Pendidikan Kota Bandung.
2004. Model – model Pembelajaran. Bandung : SMP Kartika XI.
Lynne Hill. 2008. Pembelajaran
Yang Baik. Bulettin PGRI Kuningan (Edisi ke-23 / Juni 2008).
Muhibbin Syah. 1995. Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda.
Syaiful Bahri Djamarah dan
Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. 2006. Konsep Dan
Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
*)) Novi Emildadiany adalah
mahasiswa tingkat IV pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas
Kuningan.
Makalah ini dibuat dalam rangka
memenuhi salah satu tugas mata kuliah seminar Ilmu Manajemen, yang disampaikan
oleh Bapak Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd. dan Bapak Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Pembelajaran Metode Group Investigation
oleh: David Narudin*))
Group Investigationn merupakan
salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada
partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi)
pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari
buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa
dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk
mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki
kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses
kelompok. Model Group Investigation dapat melatih siswa untuk
menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat
terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.
Dalam metode Group
Investigation terdapat tiga konsep utama, yaitu: penelitian atauenquiri,
pengetahuan atau knowledge, dan dinamika kelompok atau the
dynamic of the learning group, (Udin S. Winaputra, 2001:75). Penelitian di
sini adalah proses dinamika siswa memberikan respon terhadap masalah dan
memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan adalah pengalaman belajar yang
diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika
kelompok menunjukkan suasana yang menggambarkan sekelompok saling berinteraksi
yang melibatkan berbagai ide dan pendapat serta saling bertukar pengalaman
melaui proses saling beragumentasi.
Slavin (1995) dalam Siti Maesaroh
(2005:28), mengemukakan hal penting untuk melakukan metode Group
Investigation adalah:
1. Membutuhkan Kemampuan Kelompok.
Di
dalam mengerjakan setiap tugas, setiap anggota kelompok harus mendapat
kesempatan memberikan kontribusi. Dalam penyelidikan, siswa dapat mencari
informasi dari berbagai informasi dari dalam maupun di luar kelas.kemudian
siswa mengumpulkan informasi yang diberikan dari setiap anggota untuk mengerjakan
lembar kerja.
2. Rencana Kooperatif.
Siswa
bersama-sama menyelidiki masalah mereka, sumber mana yang mereka butuhkan,
siapa yang melakukan apa, dan bagaimana mereka akan mempresentasikan proyek
mereka di dalam kelas.
3. Peran Guru.
Guru
menyediakan sumber dan fasilitator. Guru memutar diantara kelompok-kelompok
memperhatikan siswa mengatur pekerjaan dan membantu siswa mengatur pekerjaannya
dan membantu jika siswa menemukan kesulitan dalam interaksi kelompok.
Para
guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok
yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen,
(Trianto, 2007:59). Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan
berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Selanjutnya siswa
memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik
yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya
di depan kelas.
Langkah-langkah
penerapan metode Group Investigation, (Kiranawati (2007), dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Seleksi topik
Para
siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya
digambarkan lebih dulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan
menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups)
yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam
jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
2. Merencanakan kerjasama
Para
siswa bersama guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan
tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah
dipilih dari langkah a) diatas.
3. Implementasi
Para
siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). pembelajaran
harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas
dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat
di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan
tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
4. Analisis dan sintesis
Para
siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada
langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang
menarik di depan kelas.
5. Penyajian hasil akhir
Semua
kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang
telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai
suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok
dikoordinir oleh guru.
6. Evaluasi
Guru
beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap
pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa
secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Tahapan-tahapan kemajuan siswa di dalam
pembelajaran yang menggunakan metodeGroup Investigation untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada table berikut, (Slavin, 1995) dalam Siti Maesaroh
(2005:29-30):
Enam
Tahapan Kemajuan Siswa di dalam Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Group
Investigation
Tahap I
Mengidentifikasi topik dan membagi
siswa ke dalam kelompok.
|
Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberi
kontribusi apa yang akan mereka selidiki. Kelompok dibentuk berdasarkan
heterogenitas.
|
Tahap II
Merencanakan tugas.
|
Kelompok akan membagi sub topik kepada seluruh anggota.
Kemudian membuat perencanaan dari masalah yang akan diteliti, bagaimana
proses dan sumber apa yang akan dipakai.
|
Tahap III
Membuat penyelidikan.
|
Siswa mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi
informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan bagian mereka ke dalam
pengetahuan baru dalam mencapai solusi masalah kelompok.
|
Tahap IV
Mempersiapkan tugas akhir.
|
Setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir yang akan
dipresentasikan di depan kelas.
|
Tahap V
Mempresentasikan tugas akhir.
|
Siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok lain tetap
mengikuti.
|
Tahap VI
Evaluasi.
|
Soal ulangan mencakup seluruh topik yang telah diselidiki
dan dipresentasikan.
|
Terkait dengan efektivitas penggunaan
metode Metode Group Investigation ini, dari hasil penelitian
yang dilakukan terhadap siswa kelas X
SMA Kosgoro Kabupaten Kuningan Tahun 2009 menunjukkan bahwa:
Pertama, dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Group
Investigationberpusat pada siswa, guru hanya bertindak sebagai fasilitator atau
konsultan sehingga siswa berperan aktif dalam pembelajaran.
Kedua,
pembelajaran yang dilakukan membuat suasana saling bekerjasama dan berinteraksi
antar siswa dalam kelompok tanpa memandang latar belakang, setiap siswa dalam
kelompok memadukan berbagai ide dan pendapat, saling berdiskusi dan
beragumentasi dalam memahami suatu pokok bahasan serta memecahkan suatu
permasalahan yang dihadapi kelompok.
Ketiga,
pembelajaran kooperatif dengan metode Group Investigation siswa dilatih untuk memiliki kemampuan yang baik dalam
berkomunikasi, semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari
berbagai topik yang telah dipelajari, semua siswa dalam kelas saling terlihat
dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut.
Keempat, adanya
motivasi yang mendorong siswa agar aktif dalam proses belajar mulai dari tahap
pertama sampai tahap akhir pembelajaran.
Melalui pembelajaran kooperatif dengan metode Group
Investigation suasana belajar terasa lebih efektif,
kerjasama kelompok dalam pembelajaran ini dapat membangkitkan semangat siswa
untuk memiliki keberanian dalam mengemukakan pendapat dan berbagi informasi
dengan teman lainnya dalam membahas materi pembelajaran.
Dari hasil penelitian ini pula dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan dari penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode Group
Investigation dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks,
diantaranya: (1) pembelajaran berpusat pada siswa, (2) pembelajaran yang
dilakukan membuat suasana saling bekerjasama dan berinteraksi antar siswa dalam
kelompok tanpa memandang latar belakang, (3) siswa dilatih untuk memiliki
kemampuan yang baik dalam berkomunikasi, (4) adanya motivasi yang mendorong
siswa agar aktif dalam proses belajar mulai dari tahap pertama sampai tahap
akhir pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2007. Cooperative
Learning. Jakarta: PT Gramedia. Cet. Ke-5.
Asep Jihad dan Muhtadi Abdullah.
2008. Guru Profesional. Bandung: PT Cipta Persada. Cet. Ke-10.
Azhar Arsyad. 2007. Media
Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.
Desty Henrliniar. 2004. Pengaruh
Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips Terhadap Pemahaman Siswa pada Materi
Pokok Bekerja Dengan Metode Ilmiah Di SMA Negeri I Kuningan. Universitas
Kuningan: Pendidikan Biologi.
E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja.
1984. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.
Ihat Hatimah, dkk. 2008. Pembelajaran
Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kiranawati. 2007. Metode
Investigasi Kelompok (Group Investigation). http: //gurupkn.wordpress.com/
2007/11/13/ metode-investigasi-kelompok-group-investigation/. (Diakses tgl 13
November 2007).
Kunandar. 2007. Guru
Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
M. Ngalim Purwanto. 1990. Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mcklar. 2008. Penerapan
Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation Untuk Meningkatkan Motivasi
dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Diklat. http://one.indoskripsi.com/
judul-skripsi/ skripsi-lainnya/ penerapan-pembelajaran-kooperatif-model-group-
investigation- untuk- meningkatkan- motivasi- dan- has. (Diakses tgl 11 Juni
2008).
Mohammad Ali, dkk. 1984. Bimbingan
Belajar. Bandung: CV. Sinar Baru.
Mohamad Surya. 2004. Psikologi
Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Muslimin Ibrahim, et.al.. 2001. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: University Press. Cet. Ke-2.
Nana Sudjana. 2001. Penilaian
Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan
Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nunu Nurnaasih. 2007. Meningkatkan
Kemampuan Siswa dalam Komunikasi Matematik Melalui Pembelajaran Kontekstual.
FLIP UNSWAGATI.
Peter Salim. 1991. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern Englliss Press. Cet.ke-1.
S. Nasution. 1986. Didaktik
Azas-Azas Mengajar. Bandung: Jemmars.
Siti Maesaroh. 2005. Efektivitas
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode Group Investigation Terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Slameto. 2004. Belajar dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Cet. Ke-4.
Syaiful Djamarah dan Aswan Zain.
2002. Strategi Belajar mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Trianto. 2007. Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Udin S. Winaputra. 2001. Model
Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Universitas Terbuka. Cet. Ke-1.
W.S. Winkel. 1986. Psikologi
Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
*))
David Narudin adalah Mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas
Kuningan Tahun 2004.
Model Pembelajaran Afektif (Sikap)
Belajar dipandang
sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara
keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini
dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung
menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang
dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model
pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan
kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan
mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant
effect)
atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang
utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek
afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan
seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian,
pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar
kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model
pelatihan kepemimpinan ESQ ala Ari Ginanjar.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual
dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah
berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas
menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda
dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Ada beberapa model pemebelajaran
afektif. Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan
dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak
digunakan.
1.
Model Konsiderasi
Manusia
seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan
sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration
model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain,
sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan
orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan
siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis
situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan
perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya
masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa
melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan
pilihannya sendiri.
2.
Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai
standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada
pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat
multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan
rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran
tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) menigidentifikasi
situasi dimana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan, (2) menghimpun
informasi tambahan, (3) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma,
prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari
alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan
dengan berpegang pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat.
3.
Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau
terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model)
merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai
(valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam
bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para
siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan
merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai: (1)
pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah
alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya, (2)
mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas
pilihannya, (3) berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan
pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.
4.
Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui
restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara
berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini
bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral
secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: (1)
menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau
pertentangan nilai, (2) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung
nilai moral tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan
dan kejelekannya, (4) siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih
baik, (5) siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5.
Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang
sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan
kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan
sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan
model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah
pembelajaran nondirekif: (1) menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi
bebas, (2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan
masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi, (3)
pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru
memberrikan dorongan, (4) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa
merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi, (5)
integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan
kegiatan-kegiatan positif.
Model Pembelajaran Sekolah Kategori
Mandiri-Sekolah Standar Nasional
Oleh:
Depdiknas
Mutu
kegiatan belajar-mengajar akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan
SKM/SSN. Oleh karena itu, kegiatan belajar-mengajar bagi peserta didik yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dirancang dan diatur
sedemikian rupa sehingga dapat dicapai hasil percepatan belajar secara optimal,
dan sebaliknya. Seperti dikemukakan Caroll dan Bloom (1974 dalam Munandar,
2001) bahwa banyak peserta didik yang memiliki bakat, minat, kemampuan dan
kecerdasan luar biasa, bahkan sebaliknya maka dalam mengelola kegiatan
belajar-mengajar dapat diterapkan pelayanan individual dan pelayanan kelompok.
Pemberian layanan secara individual
membawa implikasi dalam manajemen yakni penambahan tenaga, sarana dan dana.
Oleh karena itu dilakukan gabungan antara layanan individual dan kelompok,
dengan pengertian bahwa pada umumnya layanan pendidikan diberikan pada kelompok
peserta didik yang memiliki kemampuan dalam matapelajaran yang sama. Meskipun
kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara kelompok, penilaian terhadap
kemajuan hasil belajar merupakan penilaian kemampuan individu setiap peserta
didik. Kecuali penilaian yang dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan
belajar/ hasil kerja kelompok.
Model
pembelajaran yang dilaksanakan saat ini mengacu pada prinsip-prinsip yang
dikemukakan Bruner (Munandar, 2001) yaitu memberikan pengalaman khusus yang
dapat dipahami peserta didik; pengajaran diberikan sesuai dengan struktur
pengetahuan/keilmuan sehingga peserta didik lebih siap menyerapnya; susunan
penyajian pengajaran yang lebih efektif dan dipertimbangkan ganjaran yang
sesuai. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada SKM/SSN tidak hanya ditekankan pada
pencapaian aspek intelektual saja, melainkan dalam pembelajaran perlu
diciptakan kegiatan dan suasana belajar yang memungkinkan berkembangnya semua
dimensi dalam pendidikan, seperti: watak, kepribadian, intelektual, emosional
dan sosial. Sehingga diharapkan tercapai kemajuan dan perkembangan yang
seimbang antara semua dimensi tersebut.
Strategi pembelajaran yang sesuai untuk
mencapai dimensi di atas, adalah strategi pembelajaran yang terfokus pada
belajar bagaimana seharusnya belajar (Zamroni, 2000). Strategi ini harus
menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi, memiliki kepekaan
(sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah ke tingkat
intelektual tinggi. Untuk itu metode pembelajaran yang paling sesuai antara
lain metode pembelajaran induktif, divergen dan berpikir evaluatif.
Pembelajaran model hafalan pada pembelajaran program siswa yang memiliki
kemampuan lebih sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik
yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
Dari pemaparan di atas sesungguhnya
pembelajaran yang terjadi merupakan impelemntasi dari model Dick dan Carey
dimana peran guru atau tugas utama guru adalah sebagai perancang pembelajaran,
dengan peranan tambahan sebagai pelaksana dan penilai kegiatan belajar mengajar
(Riyanto, 2001). Dengan kata lain strategi belajar mengajar yang terapkan dalam
mengajar pada SKM/SSN bukan hanya menekankan pada aspek intelektual saja
melainkan pada juga pada proses kreatif dan berfikir tinggi dalam bentuk
strategi belajar yang bervariasi yang harus diciptakan oleh guru secara
kreatif.
Menurut Arends (2001) seorang guru
dalam melaksanakan pembelajaran harus menampilkan tiga aspek penting. Ketiga
aspek ini adalah: (1) kepemimpinan, (2) pemberian instruksi melalui tatap muka
dengan peserta didik, (3) bekerja dengan peserta didik, kolega, dan orang tua.
Untuk membangun kelas dan sekolah sebagai organisasi belajar, ketiga aspek
tersebut harus terpadu.
Pada aspek kepemimpinan, banyak peran
guru sama dengan peran pemimpin yang bekerja pada tipe organisasi lain.
Pemimpin diharapkan mampu merencanakan, memotivasi, dan mengkoordinasi
pekerjaan sehingga tiap individu dapat bekerja secara independen, dan membantu
memformulasi serta menilai pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam melaksanakan
pembelajaran guru harus merancang dan melakukan pekerjaan secara efisien,
kreatif, tampil menarik dan berwibawa sebagai seorang aktor di depan kelas,
serta hasilnya harus memenuhi standar kualitas.
Pada aspek pemberian instruksi, guru
dalam melaksanakan pembelajaran di kelas melalui tatap muka menyampaikan
informasi dan mengarahkan apa yang harus dilakukan peserta didik. Pada apsek
ini hal yang perlu diperhatikan adalah unsur konsentrasi atau perhatian peserta
didik terhadap uraian materi yang disampaikan guru. Pada umumnya perhatian
penuh peserta didik berlangsung pada 5 sampai 10 menit pertama, setelah itu
perhatiannya akan turun. Untuk itu guru harus berusaha menjaga perhatian
peserta didik, misalnya dengan memberi contoh penggunaan materi atau konsep
yang diajarkan di lapangan.
Pada aspek kerja sama, untuk mencapai
hasil pembelajaran yang optimal guru harus melakukan kerjasama dengan peserta
didik, kolega guru, dan orang tua. Masalah yang dihadapi guru dapat berupa
masalah di kelas, atau masalah individu peserta didik. Masalah di kelas dapat
didiskusikan dengan guru lain yang mengajar di kelas yang sama atau yang
mengajar mata pelajaran sama di kelas lain. Masalah individu peserta didik
dibicarakan dengan orang tua peserta didik. Dengan demikian semua masalah yang
terjadi di kelas dapat diselesaikan.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi
antara peserta didik dan sumber belajar. Pembelajaran di kelas terjadi karena
ada interaksi antara peserta didik dengan guru. Guru tidak saja memberi
instruksi, tetapi juga bertindak sebagai anggota organisasi belajar dan sebagai
pemimpin pada lingkungan kerja yang komplek. Semua perilaku guru di dalam dan
di luar kelas akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembelajaran.
Model pembelajaran dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat pada guru dan model
konstruktivis yang berpusat pada peserta didik (Arends, 2001). Model
pembelajaran tradisonal terdiri atas ceramah atau presentasi, instruksi
langsung, dan pengajaran konsep. Model pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik atau konstruktivis terdiri atas belajar kooperatif, instruksi berbasis
masalah, dan diskusi kelas.
Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan pada model pembelajaran sekolah
mandiri, yaitu : (1) pembelajaran, dan (2) evaluasi. Peran utama guru di
sekolah adalah melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran merupakan kegiatan yang
menggunakan teknik, metode, dan strategi yang sistematik untuk mengkreasi
perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik secara sistematik.
Teknik pembelajaran adalah bagian dari
setiap metode, dan beberapa metode digabung menjadi strategi, yang merupakan
kombinasi kemampuan dan keterampilan guru untuk menerapkan metode dan strategi
pembelajaran. Teknik yang banyak digunakan antara lain : (1) menyampaikan
informasi, (2) memotivasi, (3) memberi penguatan, (4) mendengarkan, (5) memberi
dan menjawab pertanyaan, dan (6) pengelolaan.
Strategi pembelajaran adalah kombinasi
metode yang berurutan dan dirancang agar peserta didik mencapai standar
kompetensi. Menururt Kindsvatter, Wilen, & Ishler (1996:169) strategi
formal yang dikembangkan berdasarkan penelitian pembelajaran yang efektif dan
menekankan pada hasil belajar yang lebih tinggi adalah:
1.
Pengajaran
aktif : fokus akademik, pembelajaran diarahkan oleh guru dengan menggunakan
bahan yang terstruktur dan berurutan.
2.
Pembelajaran
masteri: suatu pendekatan diagnostik individu pada pembelajaran di mana peserta
didik melakukan pembelajaran dan diuji sesuai dengan kecepatannya untuk
mencapai kompetensi.
3.
Pembelajaran
kooperatif : penggunaan tutor sebaya, pembelajaran grup, dan kerjasama untuk
mendorong peserta didik belajar.
Model
pembelajaran pada SKM/SSN menekankan pada potensi dan kebutuhan peserta didik
agar mampu belajar mandiri yang dibangun melalui komunitas belajar di kelas.
Strategi untuk memotivasi peserta didik membangun komunitas belajar tersebut
meliputi : (1) meyakini potensi peserta didik, (2) membangun motivasi
intrinsik, (3) menggunakan perasaan positif, (4) membangun minat belajar
peserta didik, (5) membangun belajar yang menyenangkan, (6) memenuhi kebutuhan
peserta didik, (7) mencapai tujuan pembelajaran, dan (8) memfasilitasi
pengembangan kelompok.
Secara ringkas prinsip pembelajaran pada SKM/SSN adalah :
1.
Berpusat
pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar.
2.
Menggunakan
berbagai metode yang memudahkan peserta didik belajar.
3.
Proses
pembelajaran bersifat kontekstual.
4.
Interaktif,
inspiratif, menyenangkan, memotivasi, menantang dan dalam iklim yang kondusif.
5.
Menekankan
pada kemampuan dan kemauan bertanya dari peserta didik
6.
Dilakukan
melalui kelompok belajar dan tutor sebaya.
7.
Mengalokasikan
waktu sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik
8.
Melaksanakan
program remedial dan pengayaan sesuai dengan hasil evaluasi formatif.
Sumber:
Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar
Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah
=============
Media Pembelajaran
Oleh
: Akhmad Sudrajat
Media berasal dari
bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti
“Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan
penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran.
Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan
yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.
Sementara itu, Briggs
(1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk
menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan
sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969)
mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk
cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga
pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan
peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri
peserta didik.
Brown
(1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada
mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk
mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke
–20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio,
sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini
penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan
interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Media
memiliki beberapa fungsi, diantaranya :
1.
Media
pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para
peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor
yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan
melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan
tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang
dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa
dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat
disajikan secara audio visual dan audial.
2.
Media
pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin
dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu
obyek, yang disebabkan, karena : (a) obyek terlalu besar; (b) obyek terlalu
kecil; (c) obyek yang bergerak terlalu lambat; (d) obyek yang bergerak terlalu
cepat; (e) obyek yang terlalu kompleks; (f) obyek yang bunyinya terlalu halus;
(f) obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang
tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
3.
Media
pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan
lingkungannya.
4.
Media
menghasilkan keseragaman pengamatan
5.
Media
dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
6.
Media
membangkitkan keinginan dan minat baru.
7.
Media
membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
8.
Media
memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan
abstrak
Terdapat berbagai jenis media
belajar, diantaranya:
1.
Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan,
poster, kartun, komik
2.
Media
Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
3.
Projected still media : slide; over head
projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
4.
Projected motion media : film, televisi, video (VCD,
DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.
Sejalan dengan perkembangan IPTEK
penggunaan media, baik yang bersifat visual, audial,projected still media maupun projected
motion media bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu
alat saja yang disebut Multi Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer
tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu
semua jenis media yang bersifat interaktif.
Allen
mengemukakan tentang hubungan antara media dengan tujuan pembelajaran,
sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :
Jenis Media
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
Gambar Diam
|
S
|
T
|
S
|
S
|
R
|
R
|
Gambar Hidup
|
S
|
T
|
T
|
T
|
S
|
S
|
Televisi
|
S
|
S
|
T
|
S
|
R
|
S
|
Obyek Tiga Dimensi
|
R
|
T
|
R
|
R
|
R
|
R
|
Rekaman Audio
|
S
|
R
|
R
|
S
|
R
|
S
|
Programmed Instruction
|
S
|
S
|
S
|
T
|
R
|
S
|
Demonstrasi
|
R
|
S
|
R
|
T
|
S
|
S
|
Buku teks tercetak
|
S
|
R
|
S
|
S
|
R
|
S
|
Keterangan :
R = Rendah S = Sedang T= Tinggi
1
= Belajar Informasi faktual
2
= Belajar pengenalan visual
3
= Belajar prinsip, konsep dan aturan
4
= Prosedur belajar
5=
Penyampaian keterampilan persepsi motorik
6
= Mengembangkan sikap, opini dan motivasi
Kriteria
yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Contoh : bila tujuan
atau kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media
audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai
bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau
tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas), maka media film dan
video bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi
(komplementer), seperti: biaya, ketepatgunaan; keadaan peserta didik;
ketersediaan; dan mutu teknis.
============
Untuk
memahami lebih lanjut tentang Media Pembelajaran, silahkan klik tautan di bawah
ini ! Jangan lupa, komentar Anda sangat diharapkan.
SlideShare.net untuk Pembelajaran
Website slideshare.net adalah sebuah
situs yang menyediakan berbagai informasi yang sangat kaya. Di sana
tersimpan berbagai file dalam bentuk power point, word dan
pdf. yang bisa dimanfaatkan secara gratis untuk menambah pengetahuan dan
wawasan kita tentang berbagai hal.
Tetapi
bagi sebagian orang mungkin website ini masih dianggap sebagai sesuatu
yang asing. Hal ini bisa saya lihat ketika saya menugaskan para mahasiswa
untuk memiliki account di SlideShare.net untuk menyimpan file tugas-tugas
perkuliahan yang saya ampu, ternyata diantara mereka ada juga yang belum
mengenal website ini.
Walaupun
sesugguhnya perkuliahan yang saya ampu bukanlah mata kuliah tentang
komputer/IT, tetapi itulah tantangan belajar yang saya berikan kepada
mahasiswa.
Dalam
perkuliahan, saya mengajak rekan-rekan mahasiswa untuk tidak hanya
sekedar menguasai substansi dari apa yang sedang dipelajarinya di dalam
kelas tetapi mereka dituntut pula untuk senantiasa belajar meraih dan
berbagi informasi secara terus menerus, diantaranya melalui internet
dengan memanfaatkan Slide Share.net ini.
Penugasan ini bukan tanpa alasan,
secara kebetulan saya mengampu mata kuliah kependidikan yang bertujuan
menyiapkan para mahasiswa untuk memiliki kompetensi pedagogik.
Harapan saya,
di samping untuk memenuhi kebutuhan belajar mereka saat ini,
–kapasitasnya sebagai mahasiswa. Lebih dari itu, melalui penugasan ini
harapan saya kelak ke depannya ketika mereka telah menjadi guru, mereka
sudah sangat terbiasa akrab dengan komputer dan dunia internet untuk
kepentingan pembelajaran peserta didiknya. Saya yakin, ke depannya komputer dan
internet akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan
di sekolah.
Berdasarkan
informasi yang saya peroleh, konon para mahasiswa saya sebagian besar sudah
memiliki account di FaceBook, yang notabene mereka sudah memiliki
pemahaman bagaimana mengoperasikan internet. Hal ini saya anggap sebagai
sebuah peluang untuk menambah dan meningkatkan kapasitas mereka, jadi selain
mereka berinteraksi secara sosial dalam FaceBook, mereka juga dapat
berinteraksi secara intelektual melalui SlideShare.net
Terima kasih kepada sahabat saya,
Bapak Aminhers yang lagi merantau
di Thailand, karena penugasan ini salah-satunya terilhami dari diskusi
dengan beliau dalam sebuah tulisan saya sebelumnya.
=========
Sumber-Sumber yang Mempengaruhi Teknologi Pembelajaran
·
Teknologi pembelajaran dapat dilihat
sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun
prinsip dan prosedurnya berdasar pada teori. Kawasan bidang ini telah melalui
pergulatan antara pengaruh nilai, penelitian,dan pengalaman praktisi, khususnya
pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran.
·
Bidang ini kemudian berkembang tidak
hanya berupa pengetahuan teoritik tetapi juga pengetahuan praktis.
·
Setiap kawasan dibentuk oleh : (1)
landasan penelitian dan teori; (2) nilai dan perspektif yang berlaku; (3)
kemampuan teknologi itu sendiri.
·
1.
Pengaruh Teori dan Penelitian
·
Teknologi Pembelajaran telah
dipengaruhi oleh teori dari berbagai bidang kajian. Akar teori ini dapat
ditemui dalam berbagai disiplin, termasuk : psikologi, rekayasa, komunikasi,
ilmu komputer, bisnis, dan pendidikan secara umum.
·
Secara singkat, pengaruh teori dan
penelitian terhadap masing-masing kawasan dapat dijelaskan sebagai berikut :
·
a. Desain
·
Teori sistem umum diterapkan melalui
aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung
logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil
penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap
komponen-komponen proses perancangan.
·
Penelitian dan teori psikologi yang
berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang
dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme
dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang
motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.
·
Teori dan penelitian tentang
Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan
tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media
pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya.
·
Teori komunikasi dan penelitian
tentang pesepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan,
seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi
yang dilakukan Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik
persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi : pengorganisasian,
perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.
·
b.
Pengembangan
·
Proses pengembangan bergantung pada
prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat
komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya
dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan
visual-audial, berfikir visual, dan estetika.
·
Teori Shannon dan Weaver (1949)
tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan
menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender,
Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang
komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.
·
Proses pengembangan juga telah
dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual.
Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan
berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan
manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972)
menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir
visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis,
bentuk, warna, tekstur, atau komposisi..
·
Sementara itu, prinsip-prinsip
estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel
(1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan
visual, yaitu : pengaturan, keseimbangan dan kesatuan.
·
Teori dan penelitian dalam bidang
komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori
pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti
pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi
umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan
teknologi elektronik yang canggih.
·
c.
Pemanfaatan
·
Pada mulanya gagasan tentang
pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori
dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan
media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media
secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena
bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada
proses difusi. Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi.
Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses
difusi, yaitu : (1) bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, (2) saluran
komunikasi yang ada, (3) waktu, dan (4) sistem sosial yang berlaku. Studi
Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial,
lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber
pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang
sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada
awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan
kepada para pengikutnya.
·
Dari berbagai pengalaman kegagalan
inovasi teknologi pada skala besar, telah mendorong perlunya perencanaan dan
perubahan keorganisasian, administratif dan individu (Cuban, 1986). Sekarang ini
muncul perkembangan pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara organisasi
beradaptasi dengan tantangan masyarakat modern, dengan segala sistem pemasaran
yang baru, teknologi baru dan tuntutan perubahan yang terus menerus, sehingga
pada akhirnya menggiring pemanfaatan sebagai implementasi dan
institusionalisasi.
·
d.
Pengelolaan
·
Persoalan-persoalan pengelolaan
dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan
berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi,
motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak
diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk
pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari
manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan
sumber dan efektivitas pembiayaan.
·
Pengelolaan proyek sebagai suatu
konsep, pada awalnya diperkenalkan sebagai “cara yang efisien dan efektif dalam
menghimpun suatu tim, dimana pengetahuan dan keahlian anggotanya sesuai dengan
siatuasi unik dan tuntutan teknis jangka pendek yang ditentukan oleh pemberi
kerja”(Rothwell dan Kazanas, 1992).
·
Pengelolaan sumber telah lama
menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya
diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih
mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar
diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak,
lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989)
·
Akhir-akhir ini mulai tumbuh
perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun
mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi
pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).
·
Kelanjutan dari pengelolaan sumber
ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana,
seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai,
serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan
era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model.
·
Komponen terakhir dari masalah
pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu
landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini
berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi,
penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini
jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.
·
e.
Penilaian
·
Analisis, asesmen dan penilaian
memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi
pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi
behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan
(tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan
menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau
analisis masalah.
·
Dengan masuknya pandangan
kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa
implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas,
yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian
pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey,
1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih
banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.
·
2. Nilai
dan Perspektif Alternatif
·
Pada umumya nilai-nilai yang ada
akan berfungsi sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin
berasal dari pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan dari
teori-teori atau karakteristik pribadi orang yang tertarik terhadap Teknologi
Pembelajaran . Secara khusus, nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap
perkembangan Teknologi Pembelajaran, yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran;
(b) individualisasi; (c) efisiensi; (d) penggeneralisasian proses isi lintas;
(e) perencanaan terinci; (f) analisis dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h)
pemanfaatan pembelajaran bermedia.
·
Konsep paradigma alternatif dalam
menemukan pengetahuan baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai
disiplin ilmu. Dalam perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki
kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian
fenomenologis dan gerakan ke arah psikologi kontruktivis. Teknologi
pembelajaran juga merasakan pengaruh ini, sebagai contoh Striebel (1991)
mengemukakan pendapatnya bahwa komputer bukanlah hanya sekedar bentuk sistem
penyampaian, tetapi sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu
dengan segala kecenderungannya. Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan
yang meragukan bahwa teknologi betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk
untuk memenuhi segala tujuan yang diinginkan.
·
Gerakan psikologi konstruktivisme
telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan
konstruktivisme bahwa disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita
tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu
tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu
rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada,
interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
·
Konstruktivisme cenderung
mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan
pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa
landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang
digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap
adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan
terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan
arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.
·
Perspektif alternatif lain yang
mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting
atas keunggulan belajar situasional (situatedlearning). Belajar
situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung
di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana
pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang
menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami
belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih
pada aplikasi daripada sekedar perolehan.
·
Gerakan teknologi kinerja yang lebih
berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam
Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi
kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi
kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari
berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu menajemen,
dan ilmu kognitif (Geis, 1986).
·
Para teknolog kinerja tidak selalu
merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan
masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif,
desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai
intervensi.
·
Filsafat alternatif pun turut
mewarnai terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini
berkembang dari kelompok post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan
analisis kritis terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai
dalam bidang Teknologi Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa
teknologi pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991)
menjelaskan bahwa post-modern adalah suatu cara berfikir yang menjunjung
prinsip keanekaragaman, temporal dan kompleks, dari pada bersifat universal,
stabil dan sederhana.
·
Banyak implikasi filsafat
post-modern untuk praktek dan teori desain sekarang ini, terutama tentang
orientasi pemikiran yang menggunakan paradigma desain baru, dan tidak
bersandarkan pada model desain yang sistematis. Filsafat post-modern lebih
menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal
yang tertutup, terstruktur dan kaku (Hlynka, 1991)
·
3.
Pengaruh Teknologi
·
Kekuatan teknologi pembelajaran
memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan
banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi
telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses
terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan
informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar
dan pembelajar (Hannfin, 1992). Perancang yang terampil dan kreatif dapat
menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam : (a)
mengintegrasikan media; (b) menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang
jumlahnya hampir tidak terbatas, dan bahkan (c) mendesain kembali untuk
kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap
individu.
·
Teknologi, disamping mampu
menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih
bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya
sarana berbasis komputer untuk menunjang tugas perancangan.
·
Sumber:
·
Barbara B. Seels dan Rita C.
Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, (terjemahan
Dewi S. Prawiradilaga, dkk)